Politik Sastra Gang Kurihing

Politik Sastra Gang Kurihing

Pegiat literasi nasional, Gola Gong, dari Rumah Dunia Banten bertandang ke Kindai Seni Sastra Kreatif, Banjarbaru, Maret 2017 (Sumber foto: FB ASA)

 

 

Sejak akhir 2016 ada kantong baru kegiatan sastra di Banjarbaru, di Jalan Pelita 5, Gang Kurihing, Kecamatan Landasan Ulin Utara. Namanya: Kindai Seni Kreatif. Konstruksi utama bangunannya terdiri atas bambu, kayu, dan rumbia. Secara visual sangat artistik. Namanya menyiratkan cita-cita besar untuk menampung beragam interaksi dialogis semua jenis kesenian. Kegiatannya dilakukan setiap hari Minggu, berupa pertunjukan karya sastra dan diskusi. Tokoh penggeraknya adalah Ali Syamsudin Arsi (ASA).

Apa yang dilakukannya saya kira bentuk upayanya keluar dari batas kelembagaan yang melekat pada diri ASA. Di antara banyak kemungkinan yang mungkin ingin dilawannya, setidaknya ada beberapa titik target.

Pertama ASA adalah guru di salah satu SMP negeri di Banjarbaru. Sebagai guru dia adalah bagian dari sistem kebudayaan negara. Akan tetapi, dia menyadari bahwa posisinya dalam struktur kekuasaan tersebut, dia bukan orang yang bisa berbuat banyak di sekolahnya bahkan dalam dunia kependidikan di kotanya. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat yang seharusnya secara terus-menerus menggiatkan program Literasi Sekolah tampak mulai kendor dan mandek di tataran pencitraan politik.

Kedua, ASA juga salah satu penasihat dalam struktur pengurus Dewan Kesenian Banjarbaru 2012-2017. Rupanya posisi struktural tersebut tidak memberikan kekuasaan yang cukup untuk mewujudkan kegiatan sastra seperti ini. Dalam poster-poster kegiatannya belum pernah tampak adanya logo Dewan Kesenian Banjarbaru. Semakin jelas bahwa ASA tidak mendapatkan dukungan dari lembaga tersebut meskipun kadang dalam laporan kegiatannya ia menyebut nama walikotanya sebagai pihak yang perlu mengetahui keberadaan aktivitas rutin tersebut.

Ketiga, ASA juga salah satu anggota dari Komite Kerjasama dan Penelitian Pengembangan di kepengurusan Dewan Kesenian Kalimantan Selatan (DKKS) periode 2014-2018. Struktur itu pun tidak mampu membuatnya bisa menggerakkan DKKS untuk teliti, berkembang, dan memiliki jaringan kerja sama yang baik.  Dewan Kesenian hanya nama dan tidak memberikan tempat untuk jenis kegiatan yang kini sedang dibangunnya sendiri.

Keempat, ASA juga bagian dari Yayasan Kamar Sastra Banjarbaru. Dalam yayasan tersebut dia sudah tidak tahu lagi berperan sebagai apa karena konon tidak pernah lagi diajak bicara. Yayasan tersebut lebih didominasi oleh penampilan karya-karya ketua yayasannya sendiri. Dengan Kindai ini, dia ingin mengatakan bahwa lembaga kebudayaan seharusnya bukan hanya untuk mempopulerkan pengurusnya sendiri. Lembaga budaya harus menjadi panggung bersama. Namun dalam konteks perjuangan ASA, panggung itu adalah panggung komunitas sebagai sikap melawan pada kelompok dominan yang dianggap terhormat.

Kelima, gerakan kantong baru ini tentu tidak lepas dari “perceraian” ASA dengan komunitas sastra di Minggu Raya. “Kekuasaan” ASA sudah dilucuti di sana dan Gang Kurihing kini merupakan ruang resistensi baru baginya terhadap “mazhab” Minggu Raya (MGR). Perlawanan kreatif ini dapat memaknai keberadaan lembaga lain yang terkait dengan sastra dan seni kreatif di Banjarbaru pada khususnya dan Kalimantan Selatan secara umum. Relasi oposisi dua kantong sastra ini menghadirkan makna bagi kita. Audiens sastra memiliki opsi lain. Keberadaannya bukan hanya dapat saling melengkapi dan memperkaya suasana kesastraan di Banjarbaru tetapi juga sebagai celah untuk mengintip “pertarungan ekspektasi estetika” dan politik sastra di Kalimantan Selatan.

Keenam, kegiatan ini salah satu bentuk implementasi dari misi gerakan literasi. Gerakan semacam ini terasa penting artinya di tengah masyarakat yang belum terlalu suka membaca buku, apalagi buku sastra. Selain itu, gerakan ini juga melawan ketidakseimbangan perhatian kritikus sastra terhadap karya sastra tertentu. Gang Kurihing mencoba menghadirkan kemungkinan lahirnya pengkaji-pengkaji sastra baru dan audiens yang juga baru.

Jadi, sastra di Gang Kurihing bukan titik otonom yang steril dari politik sastra. ASA sedang melawan lembaga-lembaga budaya yang melekat pada dirinya. Dalam konteks politik sastra ini, apa yang ASA tulis dalam status-status media sosialnya sesungguhnya merupakan strategi resistensi politik kebudayaan terhadap lembaga-lembaga kebudayaan resmi dan tidak resmi. Fakta empirik ini penting untuk dipahami oleh mereka yang memandang secara romantik bahwa kebudayaan adalah wadah peradaban yang harmonis. Dalam konteks politik sastra Gang Kurihing, kebudayaan juga bisa merupakan rangkaian perlawanan komunitas anti-struktur (dalam konsep Victor Turner) terhadap struktur besar yang dianggap berkuasa.

Fakta ini pula mengoreksi dan sekaligus menguatkan paradigma resistensi yang dirumuskan Scott dalam buku Everyday Forms of Peasant Resistance (1989: 5) yang menyatakan bahwa “Ketiadaan organisasi resmi merupakan unsur utama dari resistensi sehari-hari.” ASA bukan tidak memiliki organisasi resmi tetapi organisasi resmi tidak ada bagi keinginannya untuk mengembangkan budaya literasi secara berkelanjutan.

Dalam satu perbincangan, saya bertanya kepada ASA. Apa arti Kindai Seni Kreatif ini baginya? Dia menyatakan, “Kindai Seni Kreatif ini boleh dikata sebagai mimpi besar seorang bernama Ali Syamsudin Arsi dengan segala macam halang-rintang dan pergulatan kondisi berkesenian di tanah banua – terkhusus ‘cuaca mendung’, ….. ini bagian dari perjuangan dan juga perlawanan agar tidak menyerah, tidak ‘dikalahkan’ oleh keadaan. Keadaan banua kita menatap seni, sastra, dan keadaan negeri tercinta ini. Kindai memberanikan diri untuk membuka jalan kemandirian berkesenian khususnya di Tanah Banjar ini.”

Depok, 23 Maret 2017

Dipublikasikan di Radar Banjarmasin, 26 Maret 2017

Politik Sastra Gang Kurihing – Radar 26032017 (PDF)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *