Hukum Jalan di Tempat, Pemikiran Out the Box

Diskusi BPI yang diikuti aktivis dan mahasiswa.

BERAGAM catatan hitam-putih tertoreh di masa 2016 yang baru saja berlalu. Kini, dalam menatap tahun 2017 yang penuh dengan teka-teki. Hal itu yang terungkap dalam diskusi terbatas dihelat Banjar Public Initiative (BPI) di Jalan Kayutangi 2 Jalur 3 Banjarmasin, Selasa (10/1/2017) malam.

BERAGAM catatan hitam-putih tertoreh di masa 2016 yang baru saja berlalu. Kini, dalam menatap tahun 2017 yang penuh dengan teka-teki. Hal itu yang terungkap dalam diskusi terbatas dihelat Banjar Public Initiative (BPI) di Jalan Kayutangi 2 Jalur 3 Banjarmasin, Selasa (10/1/2017) malam.

DISKUSI bertajuk Evaluasi Banua 2016 & Menatap Resolusi 2017, terbilang cukup menarik. Tak hanya dihadiri para mahasiswa lintas kampus, juga menampilkan para aktivis dan pemikir muda.

Ada Ahmad Fikri Hadin SH, LLM yang merupakan Sekretaris Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) Kalimantan Selatan, Darul Huda Mustaqim SH (Peneliti Pusat Anti Korupsi dan Good Governance Universitas Lambung Mangkurat), akademi FKIP ULM Reza Fahlevi, S.Pd, M.Pd, dan Muhammad Erfa Ridhani SH (Peneliti Lembaga Analisis Hukum dan Konstitusi), serta Rahmad Hidayat selaku Ketua Umum Banjar Public Initiative.

Acara yang dipandu moderator Nopri Abadi ini cukup berlangsung seru. Hal ini ketika para narasumber membeber berbagai catatan ‘kelam’ penegakan hukum dan pendidikan di Kalsel. Darul Huda Mustaqim, misalkan membeberkan selama 2016 lalu, tercatat ada 47 kasus korupsi yang ditangani. Mirisnya lagi, menurut Darul Huda, justru penanganan kasus itu seperti jalan di tempat, ketika diusut aparat kejaksaan dan kepolisian.

Bukan hanya itu, Darul Huda juga menyorot soal praktik pungutan liar (pungli) yang begitu marak. Hingga akhirnya, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla membentuk Tim Sapu Bersih Pungli, hingga menjalar ke daerah. “Tapi, dalam praktiknya, justru pungli seperti tak bisa diberantas. Ini merupakan keprihatinan sekaligus tantangan bagi masa depan hukum kita,” cetus Darul Huda.

Sedangkan, Reza Fahlevi yang berbasis pendidikan kewarganegaraan justru melihat sisi lemahnya pendidikan moral. Bagi dia, masalah penegakan hukum dan sebagainya sangat berkelindan dengan rendahnya mutu pendidikan akademis dan moral.

Menariknya, Reza juga menyorot soal ‘kegagalan’ ULM meraih akreditasi A yang menjadi impian besar kampus tertua di daratan Pulau Kalimantan ini. Padahal, dengan segala persiapan yang ada, sejatinya kampus yang telah berdiri sejak 21 September 1956 ini tak tertahan di akreditasi B lagi. “Hal ini menjadi tantangan bagi kita, khususnya segenap citivitas ULM untuk menjawabnya,” tutur Reza. Termasuk pula, kasus dugaan ijazah palsu doktoral yang melanda seorang dosen muda di Fakultas Hukum ULM, turut mencoreng nama perguruan tinggi negeri ini.

Sementara itu, Ahmad Fikri Hadin lebih menonjolkan sisi kajian hukum tata negara yang justru dalam praktiknya tampak ‘kacau balau’. Dalam istilah dosen muda ini, banyak pemikiran atau keputusan yang keluar dari koridor atau out the box. “Faktanya, banyak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah melampau rambu-rambu yang ditanam para pakar dan pemikir hukum. Banyak putusan yang berbau rasisme, seperti persyaratan menjadi calon presiden,” ujar Fikri.

Jebolan magister hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini berharap ke depan, tak terjadi lagi putusan-putusan hukum yang berdampak negatif bagi nasional, terlebih lagi daerah. “Padahal, musuh kita bersama di Indonesia ini adalah kemiskinan dan kebodohan. Anehnya lagi, untuk skala lokal di Kalsel, begitu banyak kekayaan alam daerah hanya dinikmati segelintir orang. Sedangkan, rakyat kebanyakan hanya menerima debu dan penyakit dari aktivitas tambang yang merusak lingkungan,” ucap Fikri.

Berbeda dengan Fikri, Muhammad Erfa Ridhani lebih memfokuskan masalah Pilkada 2015 lalu, berikut produknya. Menurut Erfa, partai politik (parpol) tak ubahnya hanya alat untuk menjadikan seorang pemimpin daerah. Dalam kamus dia, tak ada lagi istilah seleksi terhadap calon pemimpin yang berkualitas. “Semua diukur dengan materi. Inilah yang harus kita benahi ke depan,” kata Erfa.

Diskusi makin hangat dengan adu argumen. Termasuk, paparan dari pendiri Banua Terang, Sukhrowardi yang melempar gagasan serta kritikan terhadap para mahasiswa. Bahkan, Sukhrowardi yang merupakan aktivis 1998 ini menantang resolusi 2017 yang kini digaungkan para mahasiswa seluruh Indonesia, termasuk Kalsel dalam menyikapi kondisi bangsa dan negara ini. “Belajar dari semangat gerakan Aksi Bela Islam yang mampu menyatukan seluruh komponen umat,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis: Didi G Sanusi

Sumber : http://jejakrekam.com/2017/01/10/hukum-jalan-di-tempat-pemikiran-out-the-box/

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *