Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bikin Galau

Oleh: Ahmad Fikri Hadin
Dosen Fakultas Hukum ULM
Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance (Parang) ULM

GALAU, itulah kata yang pas menggambarkan kondisi pascaterbitnya putusan MK yang mengabulkan gugatan bahwa kata “dapat” dalam ketentuan korupsi seperti yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), itu inkonstitusional. Perubahan pasal 2 dan 3 UU tersebut berdampak besar bagi penanganan perkara di KPK maupun di aparat penegak hukum yang diberikan kewenangan.

Wabil khusus bagi KPK, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam menanggapi putusan MK, mengatakan putusan MK ini berakibat meminta nilai pasti kerugian negara sebagai syarat masuk tahap penyidikan, putusan ini akan menyulitkan pemberantasan tindak pidana korupsi karena harus menghitung kerugian negaranya dulu.

Kegalauan lainnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delik materil). Artinya unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tipikor.

Dengan adanya putusan ini, maka dampak yang akan terjadi adalah pengusutan kasus korupsi berdasarkan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor akan berliku dilalui. Hampir dipastikan mustahil ada Operasi Tangkap Tangan (OTT)meskipun Pasal 2 dan 3 UU Tipikor terpenuhi. KPK dan penegak hukum lainnya akan sangat bergantung pada pemeriksa keuangan yang berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 lembaga yang berwenang adalah BPK RI.

Perdebatan Pakar
Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 tidak bulat disetujui oleh sembilan hakim MK. Terjadi dissenting opinion oleh empat orang hakim MK yaitu I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Aswanto, dan Maria Farida Indrati.

Dalam dissenting opinion empat hakim MK berpendapat, “UU Administrasi Pemerintahan telah memberikan perlindungan terhadap pejabat pemerintah apabila yang bersangkutan diduga melakukan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara. Sebab, menurut undang-undang a quo, terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang dapat dilakukan mekanisme pengujian melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sementara terkait penyalahgunaan wewenang yang diduga menimbulkan kerugian negara, hal tersebut akan diputuskan berdasarkan hasil pengawasan aparat internal pemerintah. Ketentuan demikian jelas merupakan penegasan adanya bentuk perlindungan terhadap pejabat pemerintah. Dengan adanya mekanisme tersebut, aparat penegak hukum tidak serta-merta dapat mendalilkan adanya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah, termasuk ada atau tidaknya kerugian negara”.

Lain halnya rilis yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menerangkan tidak ada persoalan norma pasal 2 dan 3 UU Tipikor, sehingga lahirnya putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 ini tidak tepat dan mengaburkan pengertian korupsi itu sendiri. Lahirnya putusan MK menimbulkan kekhawatiran besar yang perlu diwaspadai, sangat memungkinkan banyaknya gelombang upaya hukum untuk kasus-kasus berjalan dengan dalih putusan MK tersebut. Apabila BPK tidak segera mengeluarkan perhitungan kerugian negara yang nyata (actual loss) atas permintaan penegak hukum, maka dapat dipastikan para terdakwa akan melenggang bebas. Namun apa boleh dikata, nasi sudah menjadi bubur, putusan MK bersifat final and binding. Dibutuhkan strategi baru agar dampak negatif putusan MK ini diminimalisasi atau lebih jauh dapat di anulir. Semua harus move on dan menghadapi paradigma baru penegakan hukum tipikor.

Komitmen Bersama
Penulis berupaya mengambil sisi positif dari putusan MK ini. Ada empat catatan penting yang dapat disaring energi positif dari putusan MK ini. Pertama, dan paling utama adalah semangat perjuangan antikorupsi di semua sektor harus tetap terjaga serta bertekad bersama dalam memeranginya. Kedua, secara optik hukum administrasi adanya putusan MK ini membuat pentingnya hukum administrasi untuk mengawal good and clean government disebabkan karakter hukum administrasi bersifat instrumental yang meliputi asas efisiensi (doelmatigheid) dan asas efektivitas (doeltreffenheid) guna yang menitik beratkan kepada sisi preventif. Sementara karakter hukum pidana adalah ultimum remedium.

Ketiga, lahirnya putusan MK ini juga memulai reformasi penegakan hukum di bidang tipikor baik dilakukan oleh KPK maupun penegak hukum lainnya, pasalnya sangat bergantung pada pemeriksa keuangan berdasarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2016 adalah BPK. Selain itu aparat penegak hukum dituntut lebih profesional.

Mengutip pertimbangan hakim MK dalam putusannya berpendapat, “Seringkali terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Kondisi tersebut tentu dapat menyebabkan pejabat publik takut mengambil suatu kebijakan atau khawatir kebijakan yang diambil akan dikenakan tindak pidana korupsi. Hal itu akan berdampak pada stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi karena dalam dalil penggugat sampaikan, bahwa potensi kriminalisasi oleh penegak hukum sangat besar tanpa semisal adanya hasil audit kerugian negara ini”.

Keempat, bagi penyelenggara negara khususnya ASN lahirnya putusan MK ini menuntut komitmen nyata dalam melaksanakan pembangunan dengan final goals-nya untuk menyejahterakan rakyat dengan berpegang teguh pada sikap antikorupsi.

Dari semua energi positif yang dapat di ambil dari putusan MK ini, kita harus mempunyai niat dan tekad serta komitmen sama untuk tetap memerangi tipikor ini karena hakikatnya tipikor adalah extra ordinary crime.

Sumber : http://banjarmasin.tribunnews.com/2017/01/31/putusan-mahkamah-konstitusi-yang-bikin-galau

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *